Senin, 03 Maret 2014

HUBUNGAN SEMANTIK DAN DISIPLIN ILMU LAIN

            Bahasa pada dasarnya merupakan sesuatu yang khas dimiliki manusia. Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal symbolicum, yakni makhluk yang menggunakan media berupa simbol kebahasaan dalam memberi arti dan mengisi kehidupannya. Keberadaan manusia sebagai animal symbol dianggap lebih berarti daripada keberadaan manusia sebagai makhluk berpikir karena tanpa adanya simbol, manusia tidak akan mampu melangsungkan kegiatan berpikirnya.
            Berdasarkan kenyataan di atas, bahasa memiliki fungsi yang kompleks dan beragam, yaitu:
a)      Instrumental, alat untuk memenuhi kebutuhan material,
b)      Regulatori, mengatur prilaku individu satu dan yang lain dalam kehidupan sosial,
c)      Interaksional, menciptakan jalinan hubungan antara individu maupun kelompok,
d)     Personal, media identifikasi dan ekspresi diri,
e)      Heuristik, untuk memahami, menjelajahi, dan mempelajari dunia,
f)       Imajinatif, mengkreasikan dunia dalam kesadaran dunia batin seseorang,
g)      Informatif, penyampai pesan dalam komunikasi lisan.
Selain ketujuh fungsi tersebut, bahasa juga difungsikan untuk menafsirkan dan memahami keseluruhan pengalaman batin seseorang terhadap berbagai fenomena di dunia sekitar (Halliday dalam Aminuddin, 2011: 18). Dari sejumlah fungsi tersebut, dapat dimaklumi apabila semantik memiliki hubungan dengan sejumlah ilmu lain. Disiplin ilmu yang memiliki hubungan erat dengan semantik maupun linguistik pada umumnya adalah filsafat, psikologi, dan antropologi. Ketiga disiplin ilmu tersebut dapat dikaji dalam paparan berikut ini.
1.    Semantik dan Filsafat
Plato dan para filosof muslim Abad Pertengahan mengemukakan bahwa filsafat tidak lain adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang hakikat segala sesuatu dengan cara menggunakan akal sempurna. Filsafat juga dapat dikatakan sebagai studi tentang kearifan, pengetahuan, hakikat realitas maupun prinsip yang memiliki hubungan sangat erat dengan semantik. Hal ini terjadi karena dunia fakta yang menjadi objek perenungan adalah dunia simbolik yang terwakili dalam bahasa. Sementara pada sisi lain, aktivitas berpikir itu sendiri tidak berlangsung tanpa adanya bahasa sebagai medianya.
       Bahasa sehari-hari yang biasa digunakan bila dikaitkan dengan kegiatan filsafat mengandung, kelemahan antara lain:
a)    Vagueness, makna yang terkandung mewakili realitas yang diacunya,
b)   Ambiguity, berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu kebahasaan,
c)    Inexplicitness, terjadi akibat adanya ketaksaan makna sehingga bahasa sering tidak tepat merepresentasikan gagasan,
d)   Context-dependent, makna yang berubah sesuai konteks gramatik, sosial, serta konteks situasional.
Sehubungan dengan filsafat yang mengkaji masalah  berfikir secara benar, peranan semantik tampak sekali dalam rangka menentukan pernyataan yang benar maupun tidak benar, dengan bertolak dari adanya premis serta simpulan yang diberikan.
2.   Semantik dengan Kesusastraan 
Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni menggunakan bahasa sebagai media pemaparannya. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhasannya sendiri. Semantik dan kesusastraan saling memiliki keterkaitan, dalam hal ini bahasa dalam kesusastraan memiliki bentuk dan tuturan yang sama, tetapi dipandang dari segi makna belum tentu dipahami dengan pemahaman yang seragaman oleh tiap-tiap orang. Hal ini karena bahasa dalam kesusastraan berbeda dengan bahasa yang berada dalam karya ilmiah. Seperti halnya bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, kode dalam sastra memiliki 2 lapis, yakni lapis bunyi atau bentuk dan lapis makna. Adapun lapisan makna dalam kesusastraan terbagi menjadi empat bagian, yaitu.
a)      Lapisan makna tersurat  (denotatif)
Lapisan makna tersurat atau denotatif adalah makna yang sebenarnya.
b)      Lapisan tersirat (konotatif)
Lapisan makna tersirat atau yang disebut dengan konotatif adalah makna  yang digambarkan melalui kiasan.
c)      Lapisan makna kreatif, dan
Lapisan makna kreatif adalah lapisan makna yang dipikirkan oleh seorang pengkritik.
d)     Lapisan makna pribadi
Lapisan makna pribadi adalah makna yang dapat dipahami oleh pengarangnya saja.
Berhadapan dengan kompleksitas makna dalam karya sastra, pembaca yang ingin memahami karya sastra secara sungguh-sugguh tentunya harus memahami ilmu tentang makna sebagai bekal awal dalam upaya memahami teks sastra.
3.   Semantik dengan sosiologi antropologi
Sosiologi adalah bidang ilmu yang mengkaji kelompok masyarakat yang lebih luas dalam perkembangan ekonomi dan sosial yang heterogen, sedangkan antropologi ialah bidang ilmu yang mengkaji sekelompok masyarakat tertentu yang homogen yang mempunyai berbagai ciri khasnya. Hubungan semantik dengan dua ilmu ini adalah setiap kata yang dihasilkan oleh penuturnya, akan menggambarkan makna bahasa dalam suatu kelompok masyarakat tertentu beserta budayanya. Hanya saja hubungan semantik dengan sosiologi mengarah pada kehidupan masyarakat sosial, sedangkan dengan ilmu antropologi mengacu pada makna bahasa melalui pilihan kata yang dipakai penuturnya itu menggambarkan kehidupan budaya penutur.
Kata “unda” (dalam bahasa Banjar) dengan kata “awak” (dalam bahasa Melayu). Kata “unda” akan menggambarkan identitas kelompok masyarakat Banjar, sedangkan kata “awak” menggambarkan identitas masyarakat Melayu. 
4.   Semantik dengan Ilmu Psikologis
Psikologi membicarakan kebermaknaan jiwa yang ditampilkan melalui gejala jiwa, baik ditampilkan secara verbal maupun yang diperlihatkan secara nonverbal, sedangkan semantik membicarakan kebermaknaan dalam bahasa sebagaimana adanya dan bersifat nonverbal.
Psikologi ialah ilmu tentang kejiwaaan yang mengkaji hakikat dan gerak-gerik jiwa. Hal ini berarti setiap tingkah laku manusia mempunyai makna. Makna yang dimaksudkan adalah tentang kebermaknaan kata atau ujaran dalam bahasa.  Artinya bahasa yang dikeluarkan oleh seseorang itu menggambarkan keberadaan kondisi jiwanya karena ungkapan yang dikeluarkan itu melalui bahasa dan memunyai makna. Seorang psikolog menjelaskan makna yang menjadi objek semantik dengan salah satu cara, yakni menggunakan simbol, tanda, dan membicarakan sesuatu yang ditandai.
Kekuatan pengaruh psikologi dalam bidang semantik juga ditandai oleh adanya pengaruh sejumlah aliran dalam psikolog, misalnya behaviorisme, psikologi Gestalt field theory, kognitivisme maupun psikologi humanistik dalam kajian semantik.
Pendekatan psikolog behaviorisme dalam kajian makna bertolak dari anggapan bahwa makna merupakan bentuk responsi terhadap stimuli yang di peroleh oleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Asosiasi makna dalam hal ini ditentukan oleh bentuk perilaku realitas yang diacu lambang kebahasaan.
Pendekatan psikologi kognitif dalam pengkajian makna dapat dibedakan menjadi dua, yakni kelompok yang lebih banyah berorientasi pada teori psikologi kognitif dan kelompok yang lebih banyak berorientasi pada linguistik.
Salah satu model analisis fitur semantis kata lewat pendekatan psikolog kognitif yang lebih banyak berorientasi pada linguistik, dilaksanakan antara lain dengan cara:
a)   Mengidentifikasi sejumlah ciri referen yang diacu oleh kata,
b)   Mengidentifikasi kemungkinan adanya hubungan referen suatu kata dengan acuan referen suatu kata dengan acuan referen dalam kata lainnya, serta 
c)   Mengidentifikasi  "ciri khusus" setiap kata yang memiliki ciri hubungan acuan referen, sebagai butir yang membedakan fitur sematis kata itu dengan lainnya.
Misalnya, kata “makan” dengan kata “makanlah”. Deretan bunyi dan susunan huruf dalam perkataan tersebut menghasilkan pemahaman makna yang berbeda oleh seseorang dalam situasi yang berbeda. Situasi yang berbeda tersebut melambangkan bermakna sebagai paksaan ataupun bermakna sebagai sebuah permintaan penuturnya. Hal ini bertepatan dengan pendapat ahli psikologi yang menyatakan bahawa makna terwujud berdasarkan rangsangan atau tindak balas.
5.   Semantik dan Linguistik
Semantik dan linguistik memiliki hubungan yang sangat erat karena linguistik adalah ilmu yang mengkaji bahasa, baik yang berbentuk kata, frase, kalimat dan wacana yang terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan bentuk dan makna. Berdasarkan asumsi bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Sama seperti komponen bunyi dan tata bahasa, makna merupakan komponen yang menduduki tingkatan tertentu. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan adanya hubungan antara semantik dan linguistik. Berikut ini akan dipaparkan hubungan semantik dengan cabang-cabang ilmu linguistik.
a)    Hubungan semantik dengan fonologi
Fonologi merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tentang bunyi bahasa. hubugan semantik dengan fonologi yaitu membahas tentang perbedaan bentuk yang menimbulkan makna yang berbeda juga. Contohnya kata (1) apel dan (2) apel, kedua kata tersebut penyebutannya berbeda dan maknanya berbeda. Apel (1) memiliki makna pohon yang buahnya bundar, berdaging tebal dan mengandung air, serta berkulit lunak yang berwarna merah (kemerah-merahan), kuning (kekuning-kuningan). Jika matang rasanya manis kemasam-masaman. Apel (2) bermakna upacara yang wajib dihadiri (bersifat kemiliteran).
b)   Hubungan semantik dengan morfologi
Morfologi merupakan ilmu bahasa yang mempelajari tentang penulisan struktur huruf atau kata. Hubungannya dengan semantik adalah membahas setiap kata yang berbeda dan memiliki makna yang berbeda pula. Contohnya kata dasar “bawa” jika diberikan imbuhan menjadi “membawa”, “dibawa”. Pemberian imbuhan tersebut menghasilkan pembawaan maknanya berbeda.
c)    Hubungan semantik dengan sintaksis
Sintaksis, yaitu ilmu bahasa yang membahas tentang susunan kata dan kalimat. Hubungan semantik dengan sintaksis, yaitu apabila susunan kata dan kalimatnya berbeda maknanya juga berbeda. Contohnya kalimat (1) kucing makan sabun dan (2) sabun makan kucing, contoh tersebut berdasarkan sintaksis adalah benar, tetapi secara semantik memiliki makna yang berbeda.
d)   Hubungan semantik dengan pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang menjelaskan struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur yang terikat konteks. Pragmatik, yaitu ujaran kata yang tidak sebenarnya tetapi mengandung arti. Ujaran yang dituturkan oleh penutur memiliki makna sehingga diperlukan adanya pemahaman dari mitra tutur. Contohnya seseorang yang melihat baju temannya robek lalu mengucapkan “bagus sekali bajumu”, di satu sisi fungsi kalimat tersebut adalah pujian, tetapi secara semantik sesuai gagasan yang ingin disampaikan penutur makna tersebut berarti sindiran.
e)    Hubungan semantik dengan sosiolinguistik
Sosiolinguistik berkaitan dengan bahasa di lingkungan masyarakat. Apabila bahasa yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat berbeda maka berbeda pula maknanya. Contohnya bahasa Banjar dan bahasa Jawa berbeda sehingga maknanya juga berbeda. Kata pacul dalam bahasa Banjar berarti melepas, sedangkan dalam bahasa Jawa pacul artinya cangkul.
f)    Hubungan semantik dengan psikolinguistik
Psikolinguistik berkaitan dengan fisik dan kejiwaan seseorang. Apabila fisik atau kejiwaan seorang penutur tidak baik, bahasaya juga kurang baik sehingga perlu pemahaman makna. Contohnya ketika berbicara dengan orang yang mengalami gangguan jiwa, makna yang disampaikan tidak sesuai dengan hal yang ingin dibicarakan.
g)   Hubungan semantik dengan  wacana
Wacana merupakan kumpulan gramatik terbesar atau tertinggi yang dilengkapi oleh ide pokok serta gagasan penunjang yang berkesinambugan terhadap sebuah karangan. Hubugan semantik dengan wacana adalah pemaknaan terhadap satu teks wacana yang hilang.

Daftar Pustaka
Aminuddin. 2011. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2012. Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal. Bandung:
PT Refika Aditama.